Rintik-rintik hujan turun menyentuh
desa Gurukinayan, Karo, salah satu desa yang berjarak cukup dekat dengan gunung
Sinabung, Sabtu,(18/10/2014). Saat itu Pukul 12.00 WIB, kabut tampak tebal menyelimuti
sekitaran puncak sinabung.
Beberapa laki-laki mengangkut pasir
di daerah aliran sungai dengan lihai. Seorang kakek mengeruk setumpuk demi
setumpuk pasir dengan alat yang terbuat dari bambu. Badannya yang pendek dan kurus terus membungkuk tak kenal
lelah.
Laki-laki yang sudah tak berusia muda lagi itu
adalah Regar (58). Ia kelahiran asli tanah Karo. Ia bermata pencaharian sebagai
pengeruk pasir di aliran sungai yang berada di patokan dua seputaran gunung
Sinabung. Ia masih memiliki istri yang usianya juga sudah senja sepertinya.
Dari pernikahannya dengan istrinya tersebut ia dianugerahkan tiga anak.
“Saya bekerja mengeruk pasir di
aliran sungai ini hampir setiap hari. Pekerjaan ini saya geluti untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari bersama istri saya dan tiga anak”, Ungkapnya sambil
sesekali mengelap keringat di keningnya.
Dirincikannya, ia memiliki satu anak
perempuan dan dua laki-laki. Mereka bertiga memutuskan merantau dan bekerja di
luar tanah Karo. Anak sulung perempuannya yang masih SMA memutuskan mengikuti saudaranya untuk dapat
melanjutkan pendidikan. Dua anak laki-lakinya hanya memiliki pendapat pas-pasan
untuk diri mereka masing-masing. Hal itulah yang membuat Regar tetap semangat
mengeruk butiran pasir itu demi butiran beras di rumah sederhananya.
“Anak-anak saya sudah merantau dan
berdikari saja sudah membuat saya merasa sangat beruntung. Mereka telah
menghilangkan sedikit beban saya. Sekarang, Istri adalah prioritas saya sehingga
bekerja seperti ini dan mengirimkan sedikit kiriman bagi si bungsu yang masih
sekolah”. Ungkapnya Bangga dengan logat Batak Karo yang kental.
Regar juga mengungkapkan tidak akan
pindah dari desa kelahirannya. Baginya apapun yang terjadi patut disyukuri dan
ada hikmah di balik bencana erupsi Sinabung.
“Saya masih kuat bertahan karena
saya percaya dibalik musibah ini ada nilai-nilai untuk disyukuri. Tuhan pasti
akan memerikan semua yang terbaik”, ujarnya tegas.
Abu Vulkanik Membawa
Derita
Sejak meletusnya gunung
Sinabung pada Agustus 2014, desa Gurukinayan yang dulunya bak
permadani hijau telah diredupkan abu vulkanik. Bunga-bunga berkerut dan
bersembunyi di balik butiran abu. Debu-debu bertebaran siap mengusik pernapasan
siapapun di sekitarnya.
“Desa saya ini dulunya sangat hijau
dan udaranya segar. Tapi Erupsi Sinabung telah merengut semuanya dari kami”,
Ungkapnya miris memandangi sekeliling.
“Dulunya pasir di aliran sungai ini
sangat banyak, tapi sekarang makin hari makin sedikit. Air sungainya mulai
hangat dan kami pun harus antisipasi jika erupsi tiba-tiba terjadi”, Regar
memperlihatkan pasir yang baru dikeruknya pada Suara Almuslim, Sabtu
(18/10/2014).
Hal senada juga disampaikan Beny,
yang merupakan social worker dan anggota APPB di daerah Sinabung tersebut.
“Gurukinayan dihuni oleh 260 Kepala Keluarga saat ini. Dulunya sampai
ribuan, namun banyak yang memilih mengungsi sejak erupsi di Agustus lalu.
Memang butuh usaha keras untuk bertahan di sini”, ungkapnya kepada Suara
Almuslim, Sabtu (18/10/2014).
“Dulu, sebagian besar penduduk di
sini bermata pencaharian sebagai petani. Namun sekarang tidak memungkinkan
lagi. Mereka sudah mengalami gagal panen beberapa kali setelah berusaha menanam
di lahan bekas erupsi ini”, Ungkap laki-laki yang akrab dipanggil Bengbeng ini.
“Regar adalah salah satu contoh
betapa Sinabung membawa derita bagi penduduk pasca Erupsi. Mereka tidak
memiliki kesempatan lain, selain tetap bertahan di gurukinayan. Bantuan yang
diberikan pemerintah maupun relawan tak cukup mengangkat derita mereka. Harapan
kita bersama adalah aktivitas sinabung kembali normal sehingga warga terbebas
dari derita”, Ujarnya saat Suara Almuslim menceritakan kisah kakek Regar.
Feature Pena Persma 2014
0 komentar:
Posting Komentar