Senin, 24 Desember 2012


            Di bawah pohon perdu terlihat dua anak berumur 8 tahun sedang bermain kejar-kejaran. Aya dan Putri, mereka mengintari pohon perdu tanpa kenal lelah. Angin sore membuat rambut mereka melambai-lambai. Setelah puas bermain, mereka berselonjor di bawah pohon perdu yang rindang. Dari kejauhan terlihat Ibu Aya datang. Sambil beristirahat, kemudian mereka berbincang-bincang tentang impian mereka.
            “Aku ingin jadi POLWAN, berbakti pada negara Indonesia”, Sahut Aya
            “Put, kamu juga jadi POLWAN saja ya, kamu tinggi, badan mu bagus, pasti cocok jadi POLWAN”, Aya menyambung ucapannya.
            “Tidak mungkin Putri bisa jadi POLWAN, walaupun badannya tinggi. Ayahnya tidak akan mampu membiayai pendidikannya”, Ibu Aya mulai berkicau.
            Putri tertunduk. Hatinya miris sekali. Dalam hatinya Dia berpikir, apakah benar seperti yang dikatakan Ibu Aya.
***

            “Assalamualaikum... Ibu...Ibu...”
            “Wa’alaikumsalam, eh anak ku sudah pulang, seru mainnya?”
            “Seru, Bu. Tadi Putri main kejar-kejaran sama Aya”
            “Wah, baguslah kalau anak Ibu senang”.
            “Bu, Putri lagi sedih”. Tiba-tiba perkataan Aya mengangetkan Ibunya yang sedang sibuk mengurus orderan.
            “Loh, tadi katanya senang setelah main sama Aya, sekarang kok sedih? Sedih kenapa? Kesini...dekat sama Ibu”. Ibu menarik tangan Putri untuk duduk dipangkuannya.
            “Memangnya Putri sedih kenapa?” Ibu mengelus-ngelus kening buah hatinya
            “Semua orang tahu kan, Bu, Kalau Ayah cuma petani, tidak perlu dibilang-bilang pun semua orang sudah tahu kalau Ayah tidak punya banyak uang, ya kan, Bu?”
            Ibu sontak terkejut dengan perkataan buah hatinya.
            “Bu, tadi Ibu Aya bilang kalau Putri tidak mungkin jadi POLWAN karena kita tidak punya banyak uang”, Putri meneteskan air matanya.
            Ibu miris mendengar ucapan putrinya yang begitu polosnya, Ibu mencoba bersabar.
            “Putri, Ibu Aya cuma bercanda sama Putri”, Ibu mencoba menghibur anaknya.
            Tok..Tok..Tok..
            “Assalamualaikum”, Ayah Putri baru pulang dari sawah.
            “Waalaikumsalam”, Ibu dan Putri menghampiri dan menyalami tangan Ayah.
            “Wah, anak Ayah sedang asyik mengobrol ya sama Ibunya? Ayah boleh ikutan nggak?” Ayah menggoda Putri.
            “Ah, Ayah mau tahu saja” Putri bergaya sok cuek.
            “Ini lho, Yah.. Ibu sama Putri sedang berbincang mengenai cita-cita Putri”
            “Oh ya, Putri kelak mau jadi apa?” Ayah bertanya pada Putri
            “Putri tidak mau jadi POLWAN, Putri mau jadi dokter. Supaya bisa menolong orang yang sakit”, Putri bersemangat menjawab pertanyaan Ayahnya.
            “Pasti bisa! Itu cita-cita yang mulia, Nak”, Ayah mengangguk-angguk kagum pada Putri semata wayangnya.
            “Ya sudah lanjutkan perbincangannya ya, Ayah mau mandi dulu”, Kemudian Ayah beranjak dari kursinya.
***

            Senja menjadi jingga, burung-burung menari terbang kembali ke sarangnya. Awan bergerak melambai-lambai tanda malam akan segera menyapa manusia. Awan itu seakan bergerak seirama dengan lamunan Putri. Rupanya Putri masih memikirkan kata-kata Ibu Aya. Ibu menghampiri Putri.
            “Putri tidak perlu memikirkan omongan orang yang aneh-aneh. Tugas Putri sekarang, belajar, belajar, dan belajar. Itu omongan bukan untuk anak-anak. Itu omongan orang dewasa saja. Jadi Ibu Aya kalau ngomong sama Putri, Ibu Aya cuma bercanda”.
            “ Iya, Bu Cuma bercanda ya?”
            “Iya, Nak” Ibu tersenyum mengangguk.
            Setelah Ibu berbicara seperti itu, Putri lega perasaanya.
            “ Sudah, Nak, tidak perlu dipikrkan, Putri mandi dulu, habis mandi, makan, terus mengaji ya.. Yuk...”, Ibu mengalihkan pembicaraanya supaya Putri tidak memikirkan lagi hal tersebut.
***

            Ini adalah sebuah kisah nyata. Kisah seorang Ibu yang luar biasa. Ya, Ibu memang Madrasah pertama bagi anakknya, dengan sabar beliau tuntun anaknya mewujudkan impiannya satu persatu. Mendukung anaknya menggapai bintang tertinggi.
            Sahabat hargailah impian mu karena orang tua mu. Hargai impian, karena impian yang membuat mu terbang tinggi. Milikilah impian yang besar dan pantaskan diri untuk impian tersebut.
            Could you promise with me?
            Dream big, action big, pray big!
            Success for us! 

Created by Nurmulya
24 Desember 2012, pukul 7:04 WIB
In My Palace

Kamis, 15 November 2012


Senja mulai tampak, azan berkumandang. Hari ke sepuluh Ramadhan ini adalah hari yang telah seminggu ku tunggu sesudah mengikuti ujian UMB-PTN pada 2 Ramadhan. Ku segera berbuka puasa dan bergegas Shalat Magrib. Doa pun ku laksanakan untuk menyempurnakan shalat ku. Bukan doa biasa, doa ini datang dari hati yang paling dalam. Dalam tangis ku berdoa, mengeluarkan seluruh gundah di dada. Memohon ampun atas segala dosa ku. Memohon Allah menghadiahiku satu kursi saja di PTN, satuuu kursi saja. Tetes air mata tak sanggup ku bendung lagi, mengingat semua perjuangan ku menembus PTN impian.

Malam ini pengumuman UMB-PT, hasrat ku sangat memimpikan untuk kuliah di PTN favorit di provinsi ku. Ku berharap dengan kuliah di PTN, biayanya lebih murah dan beasiswa terbuka lebar untuk ku. Dan hasil SNMPTN bulan lalu, seakan mencengkeram tubuh ku hingga tulang-tulang ku patah tak berbentuk lagi. Dan aku gagal di SNMPTN. Disela derai tangis, memori ku kembali ke masa-masa SMA ku. Saat tertawa riang dengan sahabat-sahabat ku. Mengukir mimpi-mimpi kami di selembar kertas. Ku tulis jurusan dan PTN yang ku pilih. Tak pernah terbayang aku gagal SNMPTN. Saat itu hanya ada senyum bahagia di antara kami. Berjanji bersama mewujudkan mimpi. Membuktikan pada dunia bahwa kami mampu mengguncangnya. Kami bukan murid terkaya ataupun terpandai. Kami serba sederhana. Dengan langkah kecil, kami ingin mewujudkan cita-cita ini.
“Ya Allah, beri hamba kesempatan kuliah di PTN, satu kursi saja untuk saya. Jangan biarkan hamba menangis lagi. Engkau Maha Tahu semua yang terbaik untuk ku. Jadi kan bulan Ramadhan ini sebagia bulan kemenangan untuk hamba. Aamiin ya Rabbbal `alamin”. Ku simpan kembali sajadahku. Ku buka laptop kakak ku. Ku raih modem dari atas meja. Connect. Jari-jari ku mulai menari di atas keyboard. Alhamdulillah pengumuman UMB-PT sudah bisa dibuka. Ku pejam kan mata ku. Memohon Allah mengabulkan keinginan ku. Bismillah. Perlahan-lahan ku buka kelopak mata ku. Alhamdulillah aku lewat di PTN yang ku impikan. Tapi kemudian ku lihat lagi. Ku dekatkan mata ku ke monitor. Ada yang salah. Mata ku mulai sayu. Ternyata aku lewat di prodi pilihan ketiga. Ya Allah rasanya lebih sakit. Hati ku miris. Tetes air mata kembali mengalir. Passion ku bukan di jurusan ini. Aku berharap lewat dipilihan pertama atau sekurang-kurangnya pilihan kedua yang tidak jauh berbeda dengan pilihan pertama. Ku hapus air mata ku. Mencoba tegar dan tersenyum. Mungkin ini memang yang terbaik untuk ku.
Kakak menghampiri ku dan bertanya, “Bagaimana Dik, lewat?”
Tersenyum ku menjawab, “Prodi pilihan ketiga yang lewat, Kak”
“Shalat istikharah lah. Mantap kan hati mu. Kamu juga lewat di PTS dan kamu suka jurusannya. Kamu lewat di PTN impian mu dan jurusannya bukan favorit mu. Semoga pilihan mu kelak adalah yang teerbaik untuk mu”. Aku mengangguk tanda mengiyakan. Ku sampaikan hasil UMB-PT ini pada orang tua ku. Mereka menyerahkan keputusan kepada ku dan menyaran kan ku memikirkan baik-baik pilihanku kelak. Aku antara senang dan sedih. Ku suka jurusan di PTS, tapi di sisi lain aku ingin kuliah di PTN. Semuanya membuat ku sesak. Ku renungi apa yang salah. Mencoba belajar dari kegagalan. Selama ini aku memang kurang dekat dengan Allah. Shalat ku sering telat. Aku shalat, tapi seakan tidak shalat. Tak ada rasa saat ku shalat. Tapi kini ku bisa merasakan betapa rindunya aku kepada Allah. Aku merasa kecil dan tidak suci. Aku lemah di hadapanNya. Baru kali ini aku menangis di hadapanNya dengan tangis bertaubat. Mungkin inilah penyebab aku gagal. Selama di SMA, aku kurang memanfaatkan waktu ku untuk belajar sebaik mungkin. Malam ini adalah malam pertama shalat istikharah ku. Malam titik balik dari hidup ku selama ini. Langkah ku sudah mantap. Mungkin aku kehilangan sesuatu yang baik, tapi mungkin aku mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Aku yakin rezeki ku tidak akan di ambil orang lain, karena itulah aku tenang. “YA Allah... Aku memilih PTS yang jurusannya sesuai dengan lentera jiwa ku. Beri hamba kemudahan di sini, mudahkan hamba mendapat beasiswa. Terima kasih atas segala karunia Mu selama ini”.
***
Sehabis shaum, aku tidak tidur lagi. Aku menyiapkan segala berkas untuk daftar ulang di PTS. Dengan diantar Ayah, Ku mantap kan kaki ku. Aku yakin Allah Maha Besar, Maha Tahu yang terbaik untuk hamba-hambaNya. Aku akan berjuang mewujudkan semua mimpi ku. Aku ingin menjadi hambaNya yang taat dan bahagia di dunia dan akhirat. Aku ingin meraih masa depan dengan kesungguhan hari ini. Pemenang optimis menatap masa depan dengan penuh rencana dan aksi. Allah bersama ku, dimana pun aku berada.