Di bawah pohon perdu terlihat dua
anak berumur 8 tahun sedang bermain kejar-kejaran. Aya dan Putri, mereka
mengintari pohon perdu tanpa kenal lelah. Angin sore membuat rambut mereka
melambai-lambai. Setelah puas bermain, mereka berselonjor di bawah pohon perdu
yang rindang. Dari kejauhan terlihat Ibu Aya datang. Sambil beristirahat,
kemudian mereka berbincang-bincang tentang impian mereka.
“Aku ingin jadi POLWAN, berbakti
pada negara Indonesia”, Sahut Aya
“Put, kamu juga jadi POLWAN saja ya,
kamu tinggi, badan mu bagus, pasti cocok jadi POLWAN”, Aya menyambung ucapannya.
“Tidak mungkin Putri bisa jadi
POLWAN, walaupun badannya tinggi. Ayahnya tidak akan mampu membiayai
pendidikannya”, Ibu Aya mulai berkicau.
Putri tertunduk. Hatinya miris
sekali. Dalam hatinya Dia berpikir, apakah benar seperti yang dikatakan Ibu
Aya.
***
“Wa’alaikumsalam, eh anak ku sudah
pulang, seru mainnya?”
“Seru, Bu. Tadi Putri main
kejar-kejaran sama Aya”
“Wah, baguslah kalau anak Ibu
senang”.
“Bu, Putri lagi sedih”. Tiba-tiba
perkataan Aya mengangetkan Ibunya yang sedang sibuk mengurus orderan.
“Loh, tadi katanya senang setelah
main sama Aya, sekarang kok sedih? Sedih kenapa? Kesini...dekat sama Ibu”. Ibu
menarik tangan Putri untuk duduk dipangkuannya.
“Memangnya Putri sedih kenapa?” Ibu
mengelus-ngelus kening buah hatinya
“Semua orang tahu kan, Bu, Kalau
Ayah cuma petani, tidak perlu dibilang-bilang pun semua orang sudah tahu kalau
Ayah tidak punya banyak uang, ya kan, Bu?”
Ibu sontak terkejut dengan perkataan
buah hatinya.
“Bu, tadi Ibu Aya bilang kalau Putri
tidak mungkin jadi POLWAN karena kita tidak punya banyak uang”, Putri
meneteskan air matanya.
Ibu miris mendengar ucapan putrinya
yang begitu polosnya, Ibu mencoba bersabar.
“Putri, Ibu Aya cuma bercanda sama
Putri”, Ibu mencoba menghibur anaknya.
Tok..Tok..Tok..
“Assalamualaikum”, Ayah Putri baru
pulang dari sawah.
“Waalaikumsalam”, Ibu dan Putri
menghampiri dan menyalami tangan Ayah.
“Wah, anak Ayah sedang asyik
mengobrol ya sama Ibunya? Ayah boleh ikutan nggak?” Ayah menggoda Putri.
“Ah, Ayah mau tahu saja” Putri
bergaya sok cuek.
“Ini lho, Yah.. Ibu sama Putri
sedang berbincang mengenai cita-cita Putri”
“Oh ya, Putri kelak mau jadi apa?”
Ayah bertanya pada Putri
“Putri tidak mau jadi POLWAN, Putri
mau jadi dokter. Supaya bisa menolong orang yang sakit”, Putri bersemangat
menjawab pertanyaan Ayahnya.
“Pasti bisa! Itu cita-cita yang
mulia, Nak”, Ayah mengangguk-angguk kagum pada Putri semata wayangnya.
“Ya sudah lanjutkan perbincangannya
ya, Ayah mau mandi dulu”, Kemudian Ayah beranjak dari kursinya.
***
Senja menjadi jingga, burung-burung
menari terbang kembali ke sarangnya. Awan bergerak melambai-lambai tanda malam
akan segera menyapa manusia. Awan itu seakan bergerak seirama dengan lamunan
Putri. Rupanya Putri masih memikirkan kata-kata Ibu Aya. Ibu menghampiri Putri.
“Putri tidak perlu memikirkan
omongan orang yang aneh-aneh. Tugas Putri sekarang, belajar, belajar, dan
belajar. Itu omongan bukan untuk anak-anak. Itu omongan orang dewasa saja. Jadi
Ibu Aya kalau ngomong sama Putri, Ibu Aya cuma bercanda”.
“ Iya, Bu Cuma bercanda ya?”
“Iya, Nak” Ibu tersenyum mengangguk.
Setelah Ibu berbicara seperti itu,
Putri lega perasaanya.
“ Sudah, Nak, tidak perlu dipikrkan,
Putri mandi dulu, habis mandi, makan, terus mengaji ya.. Yuk...”, Ibu
mengalihkan pembicaraanya supaya Putri tidak memikirkan lagi hal tersebut.
***
Ini adalah sebuah kisah nyata. Kisah seorang Ibu yang
luar biasa. Ya, Ibu memang Madrasah pertama bagi anakknya, dengan sabar beliau
tuntun anaknya mewujudkan impiannya satu persatu. Mendukung anaknya menggapai
bintang tertinggi.
Sahabat hargailah impian mu karena orang tua mu. Hargai
impian, karena impian yang membuat mu terbang tinggi. Milikilah impian yang
besar dan pantaskan diri untuk impian tersebut.
Could you promise with me?
Dream big, action big, pray big!
Created
by Nurmulya
24
Desember 2012, pukul 7:04 WIB
In My Palace